KONFLIK
Istilah “konflik” secara etimologis berasal dari bahasa Latin “con” yang berarti bersama dan “fligere” yang berarti benturan atau tabrakan. Pada umumnya istilah konflik sosial mengandung suatu rangkaian fenomena pertentangan dan pertikaian antar pribadi melalui dari konflik kelas sampai pada pertentangan dan peperangan internacional.
Coser mendefinisikan konflik sosial sebagai suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuan terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisir atau dilangsungkan atau dieliminir saingannya.
Dalam pengertian lain, konflik adalah merupakan suatu proses sosial yang berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok kelompok yang saling menantang dengan ancaman kekerasan.
Menurut Lawang (1994), konflik diartikan sebagai perjuangan untuk memperoleh halhal yang langka seperti nilai, status, kekuasaan, dan sebagainya dimana tujuan mereka berkonflik itu tidak hanya memperoleh keuntungan tetapi juga untuk menundukkan pesaingnya. Konflik dapat diartikan sebagai benturan kekuatan dan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lain dalam proses perebutan sumber-sumber kemasyarakatan (ekonomi, politik, sosial dan budaya) yang relatif terbatas.
Konflik dapat terjadi pada setiap individu dan kelompok dalam masyarakat, yang menuntut adanya menyelesaikan. Setiap orang sudah dapat dipastikan pernah mengalami konflik, tidak terkecuali Anda, baik konflik secara pribadi maupun kelompok. Konflik pribadi dapat terjadi antar individu atau dalam diri sendiri. Perbedaan pandangan atau kepentingan atau pendapat dapat menjadi pemicu bagi munculnya konflik pribadi. Konflik yang terjadi dalam diri individu dapat muncul manakala terdapat perbedaan antara idealisme yang dimilikinya dengan kenyataan. Konflik yang terjadi antara individu dengan individu, misalnya konflik di antara sesame teman di sekolah. Konflik antara individu dengan kelompok, misalnya konflik antara seorang majikan dengan buruhnya. Sedangkan konflik antara kelompok dengan kelompok, misalnya para pedagang kaki lima dengan para petugas ketertiban. Konflik kelompok dapat terjadi manakala dua kelompok mengalami perbedaan kepentingan atau perbedaan pendapat.
Konflik yang tidak teratasi menjadi potensi laten bagi terjadinya disintegrasi sosial.. Dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, konflik merupakan proses sosial. Konflik merupakan salah satu fakta sosial yang berbeda dengan fakta individual. Menurut Durkheim, fakta sosial memiliki tiga karakteristik yakni: bersifat eksternal terhadap individu, bersifat memaksa individu yang berada dalam lingkungan sosialnya, dan bersifat umum yakni tersebar di masyarakat. Fakta sosial meliputi: norma, moral, kepercayaan, kebiasaan, pola berfikir, dan pendapat umum, yang dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. Fakta sosial tersebut disebut representatif kolektif.
Apabila kita amati dan perhatikan berbagai gejala dan fenomena kehidupan seharihari, baik yang kita alami sendiri maupun melalui berbagai sumber informasi (seperti surat kabar, majalah, radio, TV, dll) tentang konflik, diperkirakan ada sejumlah pola konflik, yakni sebagai berikut:
- Konflik internal terjadi dalam suatu masyarakat local
- Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah daerah sendiri
- Konflik masyarakat antar daerah, suku, agama, dan ras
- Konflik antar dua atau lebih pemerintah daerah
- Konflik antara masyarakat lokal dengan pemerintah pusat sebagai penyelenggara Negara
- Konflik antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
- Konflik antar elit di pemerintah pusat yang berimbas pada atau diikuti oleh konflik masyarakat di tingkat lokal
Konflik merupakan proses sosial yang akan terus terjadi dalam diri manusia dan di dalam masyarakat, baik secara pribadi atau kelompok, dalam rangka perubahan untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara menentang lawannya. Konflik dapat memicu terjadinya kekerasan yang biasanya ditandai oleh adanya kerusuhan, pengrusakan dan perkelahian.. Kekerasan merupakan gejala yang muncul sebagai salah satu efek dari konflik. Tindakan kekerasan ini sering tidak jelas tujuannya, ada kalanya hanya untuk kesenangan belaka, ikut dengan orang lain karena takut disebut tidak memiliki rasa kebersamaan, atau karena ditumpangi oleh kepentingan-kepentingan tertentu yang sengaja menciptakan kekacauan, dan tidak lahir dari tuntutan-tuntutan kelompok yang menentang, serta pelakunya tidak memahami tindakan yang mereka lakukan.
Salah satu contoh konflik yang diakhiri dengan kekerasan dan tidak memiliki tujuan yang jelas, misalnya tawuran antar pelajar. Berbagai sebab yang memicu terjadinya tawuran tersebut beraneka ragam, akan tetapi tetap saja tujuannya tidak jelas, apa yang mereka (para pelajar) diperebutkan atau diperjuangkan. Biasanya pemicu tawuran antar pelajar hanya sepele, mungkin hanya kesalahan bicara atau olok-olok antar teman.
Taylor dan Hudson (dalam Syahbana: 1999), mengkategorikan lima indikator dalam menggambarkan intensitas konflik yang terjadi dalam masyarakat Indonesia. Kelima Indikator tersebut adalah sebagai berikut:
- Demonstrasi (a protest demonstration). Dewasa ini, demonstrasi menjadi fenomena sosial yang terjadi hampir setiap hari. Demonstrasi dilakukan oleh sejumlah orang yang memiliki kepedulian yang sama untuk melakukan protes melalui tindakan tanpa kekerasan. Protes tersebut diarahkan terhadap suatu rezim, pemerintah, atau pimpinan dari rezim atau pemerintah tersebut; atau terhadap ideologi, kebijaksanaan, dan tindakan baik yang sedang direncanakan maupun yang sudah dilaksanakan. Misalnya, demostrasi yang dilakukan oleh para guru terhadap rancangan undang-undang guru dan dosen.
- Kerusuhan. Kerusuhan pada dasarnya sama dengan demonstrasi, namun memiliki perbedaan dalam pelaksanaannya. Demonstrasi adalah protes tanpa kekerasan sedangkan kerusuhan adalah protes dengan penggunaan kekerasan yang mengarah pada tindakan anarkis. Kerusuhan biasanya diikuti dengan pengrusakan barangbarang oleh para pelaku kerusuhan, yang seringkali menimbulkan penyiksaan dan pemukulan atas pelaku-pelaku kerusuhan tersebut. Penggunaan alat-alat pengendalian kerusuhan oleh para petugas keamanan di satu pihak, dan penggunaan berbagai macam senjata atau alat pemukul oleh para pelaku kerusuhan di lain pihak. Kerusuhan biasanya ditandai oleh spontanitas sebagai akibat dari suatu insiden dan perilaku kelompok yang kacau.
- Serangan bersenjata (armed attack). Serangan bersenjata adalah suatu tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok tertentu untuk suatu kepentingan dengan maksud melemahkan atau bahkan menghancurkan kelompok lain. Serangan bersenjatan ini seringkali ditandai oleh terjadinya pertumpahan darah, pergulatan fisik, atau pengrusakan barang-barang, sebagai akibat dari penggunaan alat atau senjata yang dipakai para penyerang.
- Kematian. Kematian yang dimaksud adalah sebagai akibat dari adanya konflik yang direspon melalui demonstrasi, kerusuhan, maupun serangan bersenjata. Konflik yang menyebabkan munculnya kematian menunjukkan indikator tingkatan konflik yang memiliki intensitas tinggi.
Sumber: Rowland B. F. Pasaribu, Konflik Sosial, hlm. 465 – 466
0 comments:
Post a Comment